"Heart of Aper_Runia"

Foto saya
Stay Cool and Stay Humble... I'll be what I believe :O

23.11.12

Love Short Story - Not All Men As You Can Imagine


KU INGIN KAU TAHU ...

Langkah kaki berhamburan sesaat setelah bel sekolah berbunyi pada saat itu. Semua siswa yang ada di sekolah itu bergegas untuk keluar kelas dan menuju kembali ke rumahnya masing – masing. Tak jarang pula melihat beberapa anak yang masih dengan santainya mengobrol dengan karibnya atau masih nongkrong di pelataran kelasnya masing – masing. Banyak sekali yang mereka lakukan. Mulai dari membuka handphone, sekedar mengenakan jaket, atau memeriksa kembali perlengkapan di dalam tas mereka.
Surabaya saat itu sungguh terik sekali. Temperatur udara di sini menunjukkan angka 35˚ C. Hujan yang tak kunjung datang menjadi andil temperatur udara Surabaya berada di kisaran tersebut, padahal menurut kalkulasi yang dulu sempat diajarkan di sekolah memasuki bulan – bulan November ini seharusnya Surabaya sudah diguyur hujan. Tetapi sampai detik ini belum ada tanda – tanda hujan akan datang.
Cuaca seperti itu tidak menyurutkan semangat Ita. Dengan santainya dia mengenakan jaket yang ada di dalam tas sekolahnya lalu beranjak keluar dari kelas. Perhatiannya langsung tertuju kepada seorang pemuda yang sedang menunggunya di depan gerbang sekolah. Tak beberapa lama kemudian dengan langkah cepat dia menuju ke gerbang sekolah yang dimaksud tanpa mengindahkan berbagai sapaan maupun teguran dari kawan – kawannya yang mencoba untuk menarik perhatiannya. Ita hanya tersenyum kecil membalas perlakuan mereka kepadanya tersebut. “Hai mas, sudah lama nunggu ya?” Sapa Ita sesaat setelah dirinya berada di gerbang sekolah.
“Oh hai Ta, gimana tadi skulnya? Bisa kan?” Jawabku yang menunggu Ita sedari tadi
“Alhamdullillah mas, bisa. Tadi kelompokku maju presentasi fisika. Hehehe... Lucu kamu ceritanya mas, ntar aja ya aku critain. Sekarang mau ngapain lagi nih? Yuk ndang berangkat, aku malu nih di liatin temen – temen nantinya.” Jawab Ita sambil mengambil helm dan langsung memakainya tanpa disuruh.
“Ok, pegangan ya. Ini langsung pulang kan? Siap deh kalo gitu Ta.” Aku mengakhiri.
Di perjalanan yang hanya berjarak sekitar 4 sampai 5 menit dari sekolah tidak ada percakapan yang terjadi di antara mereka berdua. Aku tidak tahu mengapa tiba – tiba tersenyum sendiri, membayangkan seluruh kejadian yang baru saja terjadi serta khayalan – khayalan yang menggelayut nakal di pikirannya. Sedangkan Ita hanya diam tanpa berkata sedikitpun. Hanya Allah SWT dan dirinya yang tahu apa yang ada di pikirannya saat itu. Hal tersebut sangat wajar bagi kami berdua, karena hampir kami tidak pernah mendapatkan waktu sedemikian rupa. Apalagi sampai harus berboncengan di atas sepeda motor berdua seperti ini. Ini adalah yang pertama bagi kami berdua. Dan merupakan suatu peristiwa yang akan aku kenang nantinya.
Kesibukanku yang luar biasa serta keinginannya untuk segera mencari pekerjaan yang layak membuat waktu yang dihabiskannya bersama Ita hampir tidak ada, sementara itu aku juga menyadari bahwa Ita saat ini memerlukan konsentrasi yang sangat tinggi untuk menyelesaikan studinya. Maklum, Ita saat ini menempuh pendidikan di tingkat akhir di sebuah sekolah menengah atas negeri di bilangan Surabaya Barat.
“Udah sampai nih Ta, ndang turun gih!” Perintahku sesaat setelah mereka berdua sampai di tempat yang dimaksud.
“Ya mas, makasih banyak lo udah di jemput. Kalau aja sepedaku gak rusak gak bakalan aku minta tolong kamu mas.” Jawab Ita sambil melepas helm yang masih menempel di kepalanya.
“Hadeeh, mulai deh. Apaan sih. Orang cuma gini aja kok, lagian hari ini tadi aku bisa jemput, alhamdullillah. Kalau ntar gak bisa ya maaf Ta. Mungkin lain kali deh aku jemput kamu. Tenang aja lah, seneng berbuat sesuatu untuk kamu...” Jawabku dengan nada santai tapi penuh makna.
“Hhhmmm... Ia deh mas, makasih banyak ya. Aku masuk dulu boleh? Udah laper nih, lagian aku harus siap – siap untuk les ntar malam. Mas Prid nanti malam mau kemana?”
“Sekarang kamis kan? Ntar malam aku mau keluar ama temen – temen. Udah janji aku sama mereka, napa? Mau telpon ta ntar malam?”
“Oh ya se kemarin mas udah bilang, maaf Ita lupa. Tugasku masih banyak mas, ya deh ntar kalo sempet bakalan aku telpon malam ini. Tapi gak janji ya. Ita juga gak mau ganggu waktu mas ama temen – temennya mas.”
“Ia deh tenang aja, liat ntar malam aja ya gimananya. Ndang masuk sana gih, gak baik diliatin orang lama – lama diluar gini. Maaf ya udah maksa aku.”
“Gak papa lagi, emang aku udah mau masuk kok.” Jawab Ita sambil berjalan masuk ke rumah. Tak beberapa lama kemudian Ita kembali berkata, “Mas Prid, tanggal 23 Desember abis isya datang ya ke A&W depan rumah ini bisa gak? Ita mau bikin acara, mas datang aja sama temen – temennya mas yang biasanya juga gak papa kok. Itung – itung Ita juga mau kenal ama temen – temenmu. Ya mas?”
“Acara apa nih? Kok dadakan banget bilangnya, tapi untung acaranya masih lama. Insya Allah aku bakalan ajak temen – temenku kok. Insya Allah aku bakalan datang.” Jawabku santai sambil menyalakan mesin sepeda motor.
“Alhamdullillah... Janji ya mas, aku tunggu ya. Awas kalau gak dateng, aku gak bakalan maafin kamu mas. Hihihii... Chao, assallamuallaikum..” Akhir Ita saat itu.
“Wa’allaikumsallam Wr. Wb.”


Dentuman musik membahana memenuhi seluruh ruangan. Musik bernuansa semangat dari Maroon 5 yang berjudul One More Night menemaniku yang sedang menunggu di tempat biasanya kumpul dengan teman – teman. Malam itu tak seperti malam – malam biasanya. Aku masih memikirkan ajakan Ita tadi siang. “Apa yang sebenarnya terjadi? Bukankah Ita yang aku kenal itu anak yang pemalu, kalau dia mengundangku – walaupun itu acara banyak orang – bukannya itu bertentangan dengan harga dirinya? Ya Allah... Ada apa ini? Perasaanku gak tenang.” Begitu gumamku dalam hati. Sambil menghabiskan ice chocolate  yang ada di tangan, aku mengganti lagu di notebook – ku menjadi lagu dari Adrian Martadinata yang berjudul “Ajari Aku”.
Tak beberapa lama kemudian terdengar suara pintu yang diketuk tanpa aturan dari luar. Sambil memperhatikan jam aku bergegas untuk membukakan pintu. “Haii Prid...” Sapa salah satu kawan yang datang. “Jam piro iki? Janjiane kan jam 9 esch, iki jam 11 bengi. Kebiasaan kowe iku...” Hardik aku sesaat setelah pintu terbuka dengan sempurna, dan memang benar yang datang saat itu adalah teman – teman sejawat yang aku kenal saat duduk di bangku SMA dulu. Teman – teman yang sudah menemaniku melalui hari – hariku sekitar 7 tahun terakhir ini.
“Spurane seng akeh jeh, lha ngenteni Etho bari genda’an iki sek low. Koyok biasane lah.” Jawab salah satu teman yang paling tampan diantara mereka, Wawan.
“Jelentrek kok aku seng disalahne iku? Mbi low seng janjine jemput aku gak tepak.” Balas Etho yang seakan tidak terima namanya dijelekkan saat itu.
“Keat...” Tanggapan Mbi sederhana mendengarkan tuduhan temannya.
Aku hanya tersenyum penuh arti melihat kelakuan karibnya tersebut. Sambil menutup pintu aku mempersilahkan mereka untuk masuk dan mengambil tempat sesuai dengan keinginannya masing – masing. Jujur aku tidak pernah mempermasalahkan apa yang baru saja terjadi, selama 7 tahun ini ya begini ini kita. Tak jelas dan aneh... Tapi mungkin inilah yang membuat kita bisa bertahan selama ini. “Alhamdullillah... Mereka masih mengindahkan ajakkanku untuk kumpul malam ini.” Gumamku dalam hati.
“Jadi ada apa nih? Udah 2 bulanan kita tidak kumpul – kumpul kemana saja kalian pade? Iiihhh... Sok sibuk deh...” Kata Etho sambil mengambil ice chocolate di atas meja untuk kita yang sudah kusiapkan sedari tadi.
“Yo koen iku seng nag ndi Ho? Mbojo ae... Opo maneh metu – metu dewe gak jelas mesisan kowe iku Tho, aku iki lagi garap skripsiku, gak ngewangi opo piye malah metu dewe – dewe. Wah koen iku, hhhmmm...” Jawab Wawan dengan maksud menyindir kita semua yang ada disitu.
“Yo gapopo kumpul – kumpul ae, neg kowe gak iso terus sibuk beud ndang mbali kono Tho.” Jawabku sekenanya dengan nada bergurau. Lalu tak lama kemudian aku melanjutkan, “Mbimbimbi... Kowe lapo saiki? Wes mari durung skripsimu? O ya, terus onok lowongan pekerjaan ora iki?”
“Wes Prid alhamdullillah, neg lowongan akeh. Cuma seng sabar ae ya. Be’e dorong wayahmu. Sakilingku kan kowe wes ngelebokno nag ndi – ndi to? Oh ya, sido nag luar kota kowe? Jawab Mbi sambil menghidupkan notebook – nya. Buat kami Mbi dan laptopnya itu bagaikan sepasang kekasih yang tidak terpisahkan. Karena dimana ada Mbi, disitu pasti ada laptopnya. Maklum lah anak IT, cuma kan ya gak gitu – gitu banget to? Kasihan ceweknya Mbi. Hwehehehehehe...
“Aku jek pengen nag kene ce, neg iso gak nag ndi – ndi. Neg luar kotane Jatim ngono jek rodok oke lah akune. Cuma neg kudu metu Jatim, neg iso se gak. Akeh seng tak pertaruhne soale. Kowe ngerti kan? Cuma nontok engkolah Allah ndelek aku nag ndi, tapi iku pengenku benere.” Jawabku santai.
“Amin...” Jawab mereka hampir bersamaan.
“Eh... Awak dewe diundang Ita nag A&W tanggal 23 Desember bar isya. Ita iku adek kelas awak dewe nag SMA. De’e saiki jek kelas 3. Iso gak? Neg iso tolong ojok telat ya. Bare awak dewe maghriban engko langsung budal. Kumpul nag Etho pas magrhib. Iso kan? Tolong ya esch...” Pintaku menjelaskan dengan gamblang.
“Halah koyok opo ae, tenang ae. Demi kowe awak dewe bakalan teko kok Prid. Cuma seng aku takokne iku sopo iku Ita sampai kowe sakmenene? Ojok mbujuk neg de’e mek adek kelas tok, kowe gak tau koyok ngene karo wong seng mek adek kelasmu tok.” Jawab Wawan seakan mewakili jawaban kawan – kawanku lainnya.
Pertanyaan itu tak aku indahkan, aku masih tetap berseluncur di internet dengan menggunakan notebook – ku. Aku hanya tersenyum kecut serta memberikan isyarat bahwa aku tak akan menjawabnya – setidaknya untuk sekarang. Wawan dan teman – teman lainnya yang mungkin menungguku menjelaskan tentang hal ini hanya bisa terdiam tanpa sedikitpun bersuara. Dengan ekspresi kekecewaan yang terlihat samar di wajah mereka, mereka kembali melanjutkan kesibukan mereka saat itu. Sesaat aku memperhatikan mereka dengan sangat, dan tak jarang pula aku memperhatikan masing – masing dari mereka memperhatikan kawan lainnya dengan sangat. Hal ini membuat kami hanya bisa tersenyum kecil penuh makna. Hanya Allah SWT yang dapat menggambarkan bagaikama kehangatan kami saat bersama. Dan untuk kesekian kalinya di hidupku, aku merasakan bahwa aku sungguh beruntung di dunia ini. Bersama dengan mereka aku tak pernah takut untuk menghadapi dunia. Malam itu... Menjadi milik kita...


Mentari bersinar tak seperti biasanya saat ini. Sinarnya seakan malu menyinari dunia yang sudah banyak dosa ini. Angin semilir dan cuaca yang tidak seberapa panas saat itu menemani diriku yang sedang kebingungan. Aku melihat wanita berkerudung yang sedang berjalan di koridor sebuah tempat yang sungguh tidak asing bagiku tapi aku tak tahu apa. Aku hanya melihat punggung wanita yang aku maksud tersebut. Sambil menarik sebuah koper di tangan kirinya dia melambaikan tangan kepadaku yang sedang memperhatikannya dari jauh, dan ternyata tidak hanya aku. Di sekitarku ada banyak lagi orang yang sedang memperhatikannya. Aku tak tahu siapa mereka dan aku tak mau mencari tahu. Yang aku inginkan saat itu hanya memandangi wanita berkerudung yang sedang berjalan menjauh tersebut dengan lekat. Dia melambaikan tangan kanannya, dan sesaat kemudian sebelum melewati pintu dia menoleh ke belakang. Aku pandangi dengan seksama berharap menemukan jawaban siapa wanita tersebut, dan ternyata...
Terjadi lagi... Mataku terbuka dan mendapati tubuhku sedang berbaring di kamar. Keringatku bercucuran membuat kaos yang aku kenakan saat itu basah kuyup. Aku lihat jam yang masih terpasang di tangan kiriku, masih pukul 02.00 dini hari. Tak beberapa lama kemudian aku melangkah keluar kamar untuk mengambil segelas air putih sembari mandi. Kebetulan aku terbangun pada jam segini, sekalian aku akan melaksanakan ibadah malam. Setelah aku menghabiskan segelas air putih aku bergegas untuk membersihkan diriku di kamar mandi.


Pagi itu sembari menghidupkan notebook – ku, aku memikirkan tentang kejadian semalam. Ini sudah kesekian kalinya aku bermimpi tentang hal itu. Mimpinya selalu saja sama. Mengapa aku bermimpi seperti itu? Apakah ini suatu pertanda? Dan saat aku bangun dari mimpi tersebut mengapa aku merasakan perasaan gelisah yang teramat sangat, padahal mimpinya hanya seperti itu saja. Pikiran – pikiran seperti itu menggelayut dengan liar di dalam otakku sesaat setelah aku bermimpi tentang hal tersebut. Mimpi yang selalu berulang – ulang menghantui setiap malam – malamku sudah lebih dari 2 pekan ini.
Sembari membaca berita bola serta membuka inbox email – ku pikiranku tertuju kepada nada dering ringtone handphone ¬yang aku letakkan tak jauh dari jangkauanku. Setelah meraihnya aku lihat hp – ku tersebut. Dua buah pesan masuk ke handphone – ku pagi – pagi seperti ini. Kubuka pesan pertama dari temanku Etho, dengan gayanya yang khas dia bertanya tentang acara besok malam. Sempat aku bingung untuk menjawabnya tetapi setelah aku ingat – ingat lagi bahwa besok adalah tanggal 23 Desember maka aku menjawab pesan tersebut dengan cepat.
Tak beberapa lama kemudian aku buka lagi pesan kedua yang masuk ke dalam hp – ku. Pesan dari Ita. Aku perhatikan dengan seksama pesan itu untukku:
hai mas , pagi... have a nice day ya... oh ya besok jangan lupa besok dateng ya , aku tunggu . makasih 
Aku termenung sesaat setelah membaca pesan tersebut. Di dalam hati aku sudah ber ¬– azzam – bahwa aku akan datang. Walaupun jujur aku merasakan tak tenang dengan keadaan yang aku dapati saat ini.


Suasana di A&W saat itu sungguh sangat ramai. Aku bersyukur dan merasa sangat berterima kasih sekali kepada teman – temanku yang telah berkenan untuk menyempatkan hadir disini saat ini. Aku berpikir mereka akan telat hanya untuk sekedar kumpul, apalagi datang ke acara hari ini. Tetapi yang sungguh terjadi mereka datang tepat pada waktunya untuk berkumpul. Sesuatu yang jarang sekali terjadi. Aku ingat terakhir kali kita hadir tepat pada waktunya adalah acara pernikahan kakak teman kita. Bukan di acara yang sifatnya non formal seperti ini.
Tepat di waktu yang dijanjikan kami datang. Dan entah mengapa kami menjadi pusat perhatian saat itu. Banyak sekali orang – orang yang memandangi kita sesaat setelah kami datang. Kami sudah biasa seperti itu, tetapi mengapa hari ini aku merasakan tubuhku mengeluarkan keringat dingin. Entah apa yang dirasakan teman – temanku saat itu. Tak beberapa lama kemudian aku mendapati dua orang paruh baya datang ke arahku. Yang satu adalah seorang pria yang sangat tampan dengan garis muka yang terlihat tegas namun bersahaja, yang satu adalah seorang wanita yang sangat anggun dibalik balutan busana muslim yang beliau kenakan saat itu dengan garis muka yang berwibawa. Kami hanya bisa tersenyum dan menganggukkan kepala kami untuk menyambut kedatangan mereka berdua ke hadapan kami.
Tak lama setelah mereka sampai di hadapan kami sang wanita tersebut langsung membuka obrolan, “Kamu pasti nak Prid? Ita sering sekali membicarakan tentang dirimu kepada kami. Dan ini adalah teman – teman f4 – mu itu kan? Silahkan mengambil tempat dan nikmatilah hidangan yang sudah kami sediakan ini. Semoga kalian semua terhibur malam ini. Saya adalah mamanya Ita, perkenalkan. Dan ini adalah suami saya, papanya Ita.”
“Oh ya om dan tante, terima kasih sekali atas keramahan serta undangan untuk kami ini. Ini sungguh sangat berarti bagi kami. Semoga Allah SWT membalas setiap perlakuan om dan tante ini dengan balasan yang lebih baik lagi. Perkenalkan ini adalah teman – teman saya, Etho. Wawan, dan Mbi.” Kataku sambil menjabat tangan kedua orang tua Ita dan menunjukkan kawan – kawanku sesuai dengan urutan tersebut.
“Hai mas, tumben gak telat. Yuk masuk...” Kata suara manis yang sungguh sangat aku ingat.
“Ya Ta, aku kesana. Permisi om dan tante, saya duluan.” Jawabku penuh kehati – hatian.
Tepat pukul 19.30 malam acara tersebut dimulai. Setelah berbagai acara seremonial yang dibawakan oleh pembawa acara, tibalah acara sambutan yang dibawakan oleh Ita. Setelah dipersilahkan oleh sang pembawa acara Ita langsung maju ke depan dan memberikan beberapa patah kata. “Terima kasih banyak untuk kehadiran teman – teman sekalian pada malam hari ini. Acara ini tidak akan pernah aku lupakan seumur hidupku.” Ita memulai. Dan tak lama kemudian, Ita kembali melanjutkan, “Dalam kesempatan kali ini Ita ingin mengucapkan permohonan maaf yang sebesar – besarnya bila selama ini Ita pernah memiliki kesalahan serta kekhilafan kepada kalian semua baik yang Ita sengaja maupun yang tidak sengaja. Sungguh tak ada maksud dalam diri Ita untuk melakukan hal tersebut.
“Pada kesempatan kali ini Ita juga ingin memohon doa serta dukungan dari teman – teman semua yang ada disini karena 3 hari lagi Ita akan pergi ke Singapura.” Sesaat Ita terdiam. Sama dengan suasana yang terjadi di dalam ruangan tersebut. Kawan – kawanku yang sedang asyik nyemil di sebelahku juga ikut terdiam. Sesaat pandangan mereka tertuju kepadaku. Ita memberikan isyarat bahwa dia akan melanjutkan pembicaraannya, dan tak lama kemudian Ita kembali melanjutkan, “Ita akan pergi ke Singapura, dan... Ita tidak akan melewatkan tahun baru bersama keluarga serta kalian semua di Surabaya. Setidaknya selama 4 tahun ini. Ita akan melanjutkan kuliah di Singapura. Dan ini adalah pesta perpisahan sebelum Ita berangkat.”
Apa yang dikatakannya saat itu sungguh tak dapat aku terima dengan akal sehat, kenapa harus di Singapura? Kenapa harus keluar dari Surabaya? Apa disini tidak ada universitas yang mumpuni lagi? Pertanyaan – pertanyaan itu menggelayut di kepalaku. Seakan tak terima dengan penjelasannya yang sepihak tersebut aku memutuskan untuk pergi dati tempat itu tanpa pamit ataupun tedeng aling – aling lagi. Jadi mungkinkah ini pertanda dari mimpi – mimpiku selama ini? Mungkinkah Allah SWT sudah mempersiapkan mentalku untuk menghadapi suatu kenyataan berat seperti ini? Sesaat pandangan mataku dan mata Ita bertemu, tetapi aku sudah tak mampu untuk berada di tempat ini. Tak kupedulikan juga panggilan dan pertanyaan kawan – kawanku walaupun sejatinya aku juga mendengarkannya. Saat ini... Aku hanya ingin sendiri. Sendiri menyendiri dan hanya aku yang mengerti...


Sejak kejadian pesta di A&W itu tidak pernah lagi aku bertemu Ita ataupun kawan – kawanku. Aku menjauh dari mereka. Mencoba mencerna kenyataan yang tak berpihak kepadaku. Aku menghabiskan waktu sendirian di jalan atau setidaknya mengunjungi suatu tempat yang tidak aku rencanakan sebelumnya. Hari berganti hari dan tak besok adalah jadwal keberangkatan Ita ke Singapura. Semalaman aku tidak dapat tidur. Mataku tertuju kepada handphone – ku yang sedari tadi berbunyi. Pertanda beberapa pesan singkat masuk ke dalam kotak masukku. Aku baca pesan yang masuk tersebut satu persatu. Ada pesan dari Mbi yang berkata:
Prid nag ndi kowe iku? Ojok ngilang dewe a esch. Neg onok opo – opo mbok crito, dienteni arek – arek iki low kowe...
Lalu ada juga pesan dari Wawan yang masuk:
He lhe... Aku ngerti opo seng mbok rasakne, cuma kowe kudu kuat. Bukane iku digawe mimpine de’e ya? Aku ro kowe cinta banget karo Ita, terus iki ujianne. Seng sabar lhe. Awak dewe nag kene ngancani kowe selalu kok esch... Smsn aku ya neg onok opo – opo.
Cinta? Benarkah aku mencintai Ita sehingga aku melakukan hal semacam ini kepadanya? Memang bukan hakku untuk marah dan pergi saat dia mengumumkan keberangkatannya, lalu mengapa aku melakukan itu? Bukankah ini demi mimpi – mimpinya? Benarkah aku mencintainya?
Malam itu sangat menyesakkan bagiku. Banyak sekali pertanyaan – pertanyaan yang membutuhkan jawaban di kepalaku. Kepulanganku hari ini memang sengaja agar aku dapat bertemu Ita untuk yang terakhir kalinya – setidaknya hingga 4 tahun mendatang. Tapi untuk menghubunginya saja aku tak mampu, bagaimana caranya aku memintanya untuk bertemu denganku? Aku kembali merebahkan badanku di kasur dan tanpa diminta seluruh kenangan – kenanangku bersama dengan Ita tergambar jelas layaknya sebuah film yang diputar kembali di dalam kepalaku. Waktu saat aku bertemu dengannya, berbincang lewat telepon dengan dirinya, atau saat aku menatap indah dirinya. Tak ada kenangan yang tak aku ingat saat aku bersama dengan dirinya, dan entah mengapa saat itu aku merasakan dadaku terasa sakit. Sakit sekali... Bagaikan ditusuk sembilu berulang – ulang saat aku mendapati bahwa Ita akan pergi ke Singapura. Sembari menitihkan air mata yang tiba – tiba meleleh keluar dari mataku tanpa aku perintah tak lama kemudian aku lihat lagi layar handphone – ku melanjutkan untuk membaca pesan singkat yang masuk ke dalamnya. Kali ini pesan dari Etho:
Prid cintaku, lagi dimana nih sekarang? Lagi apa sekarang? Udah maem belum? Mungkin anak – anak lain sudah pada sms kowe seng gak jelas to, dadi aku mek ape ngomong... Ita besok meminta kita untuk mengantarkannya berangkat di Juanda. Jam 11 siang, pemberangkatan internasional Juanda. Kowe wes akeh kecewa Prid, aku tahu itu. Cuma untuk wanita yang kau bela mati – matian ini tolong sempatkan dirimu untuk datang. Untuk terakhir kalinya bertemu dengannya, setidaknya sampai 4 tahun lagi. Hubungi aku lagi kalau kamu butuh temen ya cintaku... Seng sabar dulur, mek 4 tahun tok. Gak rego gawe urip saklawase karo de’e 
Dan yang terakhir pesan singkat dari Ita. Sejurus kemudian langung aku baca tanpa menunggu lebih lama lagi:
Aku minta maaf mas... Tolong tetap doain Ita ya... 
Hatiku berdegup kencang saat itu, jiwaku gelisah tak menentu mengetahui hal itu. Apa yang harus aku lakukan? Oh ya Allah... Berikan petunjukmu untukku...


Pagi itu bandara Juanda sangat ramai, mungkin karena saat ini bertepatan dengan libur natal serta tahun baru oleh karena itu banyak orang yang ingin menghabiskan waktu bersama dengan keluarga maupun orang terkasih. Tak jarang pula dijumpai tangis yang mengiringi kepergian salah satu kerabat dekat. Keriuhan suasana Juanda saat itu tak menyurutkan langkah Ita untuk pergi menggapai mimpinya. Dengan memakai kemeja berwarna putih, kerudung biru, serta jeans yang sepadan dengan sepatunya, Ita terlihat sangat anggun saat itu. Tangan kirinya menarik koper yang nantinya akan dia bawa berangkat, dan tangan kanannya menggelayut di punggung sang bunda yang mengantarkannya saat itu. Dengan ditemani oleh seluruh keluarganya yang terdiri dari ayah, kakak, serta adiknya, dan kawan – kawanku yang diundang untuk mengantarkannya saat itu dia berangkat ke koridor pemberangkatan internasional bandara Juanda. Aku juga tidak tahu mengapa cepat sekali Ita dan kawan – kawan karibku itu bisa akrab antara satu dengan lainnya.
Sementara aku sedari tadi sudah menunggu di balik pilar. Terhitung sudah 3 jam aku berdiri disini. Aku melihat setiap orang yang berlalu – lalang di tempat ini. Aku juga melihat Ita dan rombongannya masuk. Aku ingin datang menghampirinya, tetapi kakiku terasa berat untuk melangkah. Dan lidahku terkunci untuk berteriak lantang memanggil namanya. Aku tak bisa apa – apa! Yang saat ini bisa aku lakukan hanyalah memperhatikan mereka semua dari balik pilar tempatku berdiri saat ini. Sesaat kemudian aku merasakan dejavu yang sangat hebat. Aku merasa pernah berada di tempat ini, di waktu ini suatu waktu yang lalu dan kini aku ulangi lagi. Setelah tenang dan aku ingat baik – baik ternyata keadaan ini sama seperti apa yang terjadi di mimpi yang menghantui malam – malamku beberapa saat yang lalu.
Waktu sudah menunjukkan saatnya Ita untuk berangkat ke Singapura. Dari kejauhan aku melihat Ita sedang berpamitan kepada orang – orang yang sedang mengantarnya saat itu. Berarti sesaat lagi adalah waktu baginya untuk masuk dan berangkat. Pada saat seperti ini badanku tidak menuruti apa yang aku perintahkan. Badanku terasa berat untuk sekedar menghampirinya. Aku tak bisa... Aku tak mampu... “Ya Allah... Berikan aku kekuatan untuk bersamanya. Untuk mengantarkannya. Tolong ya Rabb...” Gumamku sembari meneteskan air mataku untuk kesekian kalinya.
Tak beberapa lama kemudian Ita sudah melangkah pergi. Sama seperti mimpiku. Aku tak bisa... Aku harus mengatakan sesuatu kepadanya... Dengan kekuatan dan keberanian tersisa aku berteriak memanggil namanya di tempatku kini berada, “Phytri Itanisa, tunggu!” Begitu perintahku kepadanya. Suaraku yang lantang saat itu menarik perhatian setiap orang yang ada disekitar tempat itu. Aku tak menyangka akan memanggil namanya dengan begitu lantang saat itu. Memanggil nama lengkapnya keras seakan aku ingin mencari perhatian dari situ. Aku melihat wajah keheranan dari wajah – wajah keluarga Ita yang datang untuk ikut mengantarkan. Sementara itu wajah teman – temanku memancarkan senyum dan tawa yang berseri – seri seakan tahu apa yang hendak aku lakukan setelahnya. Aku kumpulkan kekuatan dan keberanian terakhir yang aku miliki saat itu. Untuk terakhir kalinya selama 4 tahun ini aku akan melihat wajahnya, aku harus kuat demi dia. Aku langkahkan kakiku perlahan. Setapak demi setapak untuk menujunya... Ke tempat dia berdiri menungguku saat itu...
“Pridenca Luvly Heartdeep, darimana saja kau. Kenapa jam segini baru datang?” Tanya Etho menjemputku dengan tangan terbuka seakan ingin memelukku.
“Aku disini sudah dari 3 jam yang lalu. Aku berada di balik pilar.” Jawabku sembari membalas pelukan Etho. Beberapa saat kurasakan tangan – tangan lain yang memeluk tubuhku. Dan aku tahu itu adalah tangan kawan – kawanku yang lainnya.
“Lha berarti kowe lak ro neg awak dewe teko? Ngono meneng ae ii...” Kata Wawan seaakan tidak terima.
Aku hanya tersenyum mendengar perkataan Wawan tadi. Sejurus kemudian aku melepaskan pelukanku dari lengan kawan – kawanku. “Sebentar ya, aku ingin bicara dengan Ita.” Pintaku dengan sangat kepada mereka. Sesaat kemudian mereka mempersilahkan aku untuk melanjutkan langkahku ke arah Ita berada. “Om... Tante... Assallamuallaikum...” Kataku sembari menciumi tangan kedua orang tua Ita saat aku berjalan melewati beliau berdua. “Hai Pop, Pras, mbak...” Sapaku kepada anggota keluarga Ita yang ikut mengantarkannya saat itu. “Saya...” Lanjutku sembari memberikan isyarat kalau aku ingin terus melangkah ke depan. dan mereka semua pun mempersilahkannya.
“Hai Ta...” Begitu kataku saat aku sudah berhadapan dengan Ita.
“Mas... Mas datang, kirain gak bakalan datang.” Jawab Ita\
“Buktinya aku disini. Oh ya ada sesuatu yang mau aku berikan ke kamu. Nih...” Kataku sambil memberikan sebuah buku catatan yang sedari tadi aku bawa.
“Makasih mas. Ita juga mau kasih ini sebenarnya ke mas.” Dia memberikan flash disc – nya ke arahku saat berkata seperti itu.
“Apa nih? Ntar aku lihatnya waktu udah di rumah. Benernya ada sesuatu yang mau aku bicarain ke kamu...” Kataku dengan nada agak lirih.
“Aku juga mas, ada sesuatu yang mau aku tanyakan ke mas. Tentang...” Balas Ita.
“Aku cinta kamu...” Kata kami berdua hampir bersamaan.
Entah apa yang terjadi saat itu. Sesaat suasana menjadi hening untuk kita berdua. Ita dan aku sama – sama terdiam di tempat kita berdiri masing – masing. Perasaanku campur aduk saat itu, dan aku tak mengerti bagaimana harus menjelaskannya. Dan aku yakin Ita juga merasakan hal yang sama denganku. “Baca halaman terakhir dari buku itu, yang penting ada disitu. Tapi buku itu aku tulis untuk kamu kok.” Kataku memecah keheningan.
“Ia mas...” Jawab Ita lirih.
“Di dalam buku itu aku sudah selipkan cincin untuk kamu. Cincin yang satu aku sematkan di jari manis tangan kiriku. Ta, selesein kuliahmu disana secepat mungkin ya. Jangan lama – lama di Singapura! Pulanglah... Banyak orang yang akan merindukanmu.” Kataku lirih penuh arti.
“Empat tahun lagi, jemput aku disini mas. Tunggu aku pulang. Jangan sampai gak datang ya. Sekarang aku berangkat dulu. Assallamuallaikum Wr. Wb. cintaku...” Ita mengakhiri.
“Wa’allaikumsallam Wr. Wb.” Jawabku.
Sesaat kemudian Ita sudah melewati boarding pass dan tak terlihat lagi disana. Keluarga yang mengantarkannya dan aku dengan ditemani kawan – kawanku untuk beberapa saat lamanya masih berdiri di sana. “Apa yang terjadi, terjadilah. Kekuatan cinta kita akan diuji mulai saat ini. Aku percaya akhir yang indah tertulis untuk kita berdua. Allah SWT memberikan reaksi dari apa yang dilakukan hamba – hamba – Nya. Dan ini aksiku untuk mendapatkan cintamu. Aku mau, aku mampu, dan aku untukmu. Mencintaimu selama ini adalah anugerah terindah yang pernah aku miliki. Bukan aku tak ingin memilikimu, tetapi cintaku tanpa syarat sedikitpun untuk memilikimu. Waktu bersama denganmu sudahlah cukup bagiku. Suatu saat nanti Allah SWT akan mempertemukan lagi kita berdua, di tempat yang indah, di waktu yang indah, saat bersatunya kita berdua untuk menggapai cinta – Nya yang Maha Sempurna. Kembalilah... Aku menunggumu... Kita selamanya...” Begitu kataku yang entah aku katakan pada siapa saat itu. Aku hanya ingin berkata saja. Dan tak beberapa lama kemudian aku mendengarkan kawan – kawan beserta keluarga Ita menjawab serempak, “Amin...”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar